Saturday, 29 August 2015

Jaksa Agung dan Dentang 13 Lonceng Kematian yang Ditabuh Gayus Lumbuun


Jakarta - Jaksa Agung HM Prasetyo beberapa waktu lalu menjanjikan akan melakukan eksekusi mati gelombang ketiga, salah satunya untuk para pelaku pembunuhan sadis dan biadab. Di sisi lain, hakim agung Gayus Lumbuun telah menabuh lonceng kematian bagi 13 pelaku pembunuhan keji. 

Usai melakukan eksekusi mati pada ahir April 2015, Prasetyo langsung melaksanakan evaluasi proses tersebut. Saat itu ia berjanji akan menyusun lagi proses eksekusi mati gelombang ketiga.

"Untuk yang lalu-lalu dilihat proses hukumnya harus kita tuntaskan dulu baru nanti kita berpikir untuk eksekusi yang berikutnya," kata Prasetyo pada 8 Mei 2015.

Dalam eksekusi mati gelombang dua itu, terpidana Mary Jane dan Serge Atlaoui ditunda pelaksanaan eksekusi matinya. Prasetyo menyatakan hukuman mati terhadap keduanya tetap akan dilaksanakan karena putusan Mahkamah Agung telah berkekuatan hukum tetap.

"Nanti kita evaluasi lagi. Eksekusinya seperti apa, kapan, di mana dan bagaimana," kata Prasetyo pada 22 Juli 2015.

Di kesempatan lain, Prasetyo menuturkan, memang ada pertimbangan untuk memberikan selingan, yakni ada terpidana mati kasus narkoba dan pembunuhan berencana. Nantinya, keputusan itu diambil setelah evaluasi eksekusi gelombang dua selesai. 

"Namun, kami belum satu suara. Belum diputuskan soal itu. Jangan buru-buru, evaluasi masih berjalan," tegas Prasetyo.

Entah sampai mana evaluasi tersebut dilakukan. Tapi yang pasti, Mahkamah Agung (MA) kembali menabuh lonceng kematian bagi para pembunuh sadis. Pekan lalu MA mengubah hukuman penjara seumur hidup Rama Yudha dan Saeful Munir menjadi hukuman mati. Keduanya menghabisi nyawa 4 orang sekaligus yaitu Mugeni, Ridwan, Taslim dan Armadani. 

Hukuman mati ini merupakan hukuman mati ketiga belas yang dijatuhkan Gayus Lumbuun. Tiga belas nama itu antara lain adalah pembunuh berantai Ryan yang menghabisi 11 nyawa dan Babeh yang menghabisi 14 nyawa, umumnya anak-anak.

"Saya ingin membangun sebuah peradaban baru, membangkitkan peradaban baru yaitu peradaban masyarakat yang tidak mudah untuk membunuh," ujar Gayus Lumbuun terkait pentingnya hukuman mati.

Cita-cita peradaban baru Gayus Lumbuun itu seakan belum tuntas karena para terpidana mati yang divonisnya belum ada yang dieksekusi mati. Eksekusi sebagai alur terakhir criminal justice system menggantung di tangan Jaksa Agung.

Dalam hukum, dikenal adagium keadilan yang tertunda adalah ketidakadilan (justice delayed is justice denied). Lalu, haruskah terpidana itu menanti mati dalam ketidakpastian di penjara dan nyawanya diombang-ambingkan negara?



Sumber : Sumbit 

 
*------------------------------- Script Kode Navigasi Style Menu nomor --------------------------------------* *------------------------------- Script Kode Navigasi Style Menu nomor --------------------------------------*